SOMBONG
Sombong,
itulah kata yang beberapa hari ini menggangguku. Aku dianggap sombong, kurang
bersyukur dan menjauhi diri. Astaghfirullah, benarkah?
Aku
mencoba untuk introspeksi diri kenapa ada anggapan seperti itu. Apa yang telah
kulakukan, sehingga aku dianggap sombong. Dan, Siapa yang bilang aku sombong. Aku
mencoba mengingat dan merunut perilaku, sikap dan perkataanku selama ini.
Aku
merasa biasa saja. Perilaku, sikap, perkataaanku tidak ada yang mengesankan
kesombongan. Itu bisa kubuktikan, aku tidak mempunyai masalah dengan siapapun. Dengan
tetangga aku rukun, tidak ada yang berselisih denganku. Dengan keluarga, damai sejahtera
begitu pula dengan teman-teman kantor dan yang lain. Aku dapat perlakuan yang etis
dan wajar dari mereka.
Akhirnya
“dia” bicara juga. Siapa?? Entahlah aku juga tidak tahu siapa “dia”. Dia cuma bilang,
“SOMBONG”, kemudian pergi, tanpa memberikan kesempatan sedikitpun padaku untuk
bertanya, dan membiarkan aku larut dalam dunia analisa dan introspeksi. Dan bagiku,
kata “SOMBONG” itu jelas sekali ditujukan untukku.
Beberapa
waktu kemudian, “dia” menemuiku lagi. Kali ini aku langsung bertanya kepadanya
kenapa aku dibilang sombong. Sambil tersenyum “dia” hanya menjawab; “pikir
sajalah sendiri, sebab, kalau aku yang memberikan penjelasan, kamu tidak akan
percaya”. Lalu pergi meninggalkanku begitu saja. Ooooohh, OK, baiklah, aku akan
cari jawabannya.
Tidak
ada masalah sosial yang kuhadapi, kehidupanku berjalan normal dan penuh dengan
harmonisasi. Tapi ada satu masalah, yang membuatku kurang nyaman dan membuatku
merasa hidup dalam kehampaan. Dan, mungkin ini sebabnya aku dianggap sombong.
Sombong!
Ya, akhir-akhir ini aku sudah jarang sekali mengangkat tangan dan menengadahkan
wajah penuh harap, berdoa dan memohon pada-Nya.
Ya,
aku sombong, karena selama ini cuma kepalaku saja yang bersujud dihadapan-Nya,
hati dan pikiranku entah dimana dan kemana.
Sombong!
ya, sebelumnya aku memang sering mengunjungi rumah-Nya, walaupun tidak di lima waktu.
Minimal di tiga waktu dalam sehari, aku bisa mengunjungi rumah-Nya. Apalagi ketika
berbagai masalah menghampiriku, dan aku sudah tak sanggup menghadapinya.
Sombong!
ya, selama ini aku bisa mendekatkan diri pada-Nya di sepertiga malam ketika ada
masalah. Berdoa penuh harap dan cemas, dengan tangan terbuka, hati yang khusu
dan wajah tertunduk hina. Benar-benar menggambarkan bahwa aku tidak bisa
melakukan apapun, bahwa aku tidak memiliki kekuatan apapun, bahwa Dia-lah Sang
Maha segala-galanya. Aku benar-benar khusu mengagungkan kebesaran dan kemulian-Nya.
Begitulah
kira-kira hasil analisa dan introspeksiku. Pantas saja, aku dibilang sombong. Ya,
aku memang pantas disebut seperti itu. Sholat dengan khusu, bangun di sepertiga
malam, pergi ke Masjid, berdoa penuh harap dan cemas, itu semua sulit sekali kulakukan.
Perasaan tunduk penuh hina tak berdaya dan lemah dihadapan-Nya tidak lagi
kurasakan. Hampa, seperti itulah yang kurasakan. Seperti rumah tanpa penghuni
atau seperti jasad tanpa nyawa (ruh).
Setelah
kesimpulan sudah kudapatkan, ternyata “dia” datang lagi dan mengajakku untuk
kembali berkunjung ke rumah-Nya, untuk berbincang pada-Nya di sepertiga malam
dan berkeluh kesah di hadapan-Nya. Insya Allah, tapi tolong beritahu aku
caranya dan beri aku semangat, begitu jawabku. Aku tidak mau kesombongan ini
terus berlanjut.
Allahumma
ya Allah bimbing aku untuk selalu di jalan-Mu.
Alhamdulillah.